Thursday, April 9, 2015

"HUJAN TROPIS DI ARGOPURO. HUJAN PASIR DI BROMO, 2013" by Budi Abit

Setelah merasa sukses dengan trip pertama tim rukuk gunung ke Gunung Rinjani tahun sebelumnya, rencana 2013 kita terkesan buru-buru saking ngebetnya. Apalagi setelah melihat harga promo tiket sitilink menuju Bandara Juanda yang hanya 400rebu perak PP. Issued jauh jauh hari sambil berharap cuaca di akhir April sudah kering.


Park Life Lake, Argopuro


Tibalah hari yang di nanti2, 20 April 2013. Pertemuan kami yang kali ini dengan formasi kurang lengkap dikarenakan "Tuan Muda Nasdem" ada keperluan mengurus masa depan nya sebagai saingan ruhut sitompul. Okelah kita terima alasannya dan berangkat bertiga. Sebenarnya pemilihan gunung Argopuro adalah ide saya karena ada dalam list belum terdaki dan dengar2 eksotisnya padang savana Cisentor nya gak kalah dengan padang ilalang Rinjani. Cerita tentang para pendaki bertemu  kawanan rusa dan burung merak yang sedang main air dikawasan Rawa Embik juga menjadi attractive point tersendiri untuk berkunjung kesana. Sementara dua orang tua Bung Idep dan Om Ukih ikut2 saja karna kebetulan mereka juga belum kesana. 
http://kutugunung.com/catper-gunungindonesia-keindahan-tersembunyi-gunung-argopuro/

Pesawat termurah, pesawat hijau putih jadwal tengah malam yang kami tumpangi mendarat mulus di tanah ludruk di timur pulau Jawa. Kota Surabaya. Konon dalam beberapa buku dikatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dengan jurus Suro-nya dan Sawunggaling yang memiliki kanuragan Ilmu Boyo. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Peneleh. Perkelahian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga. Kata "Surabaya" ini juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Menakjubkan begitu sampai kota tersebut hawa gerah langsung terasa (*gak ada hubungannya dengan bahasan adu ilmu pendekar2 masa lalu sebelumnya). Kota pelabuhan. Tanjung Perak tepi laut tercatat dalam sepenggal lirik salah satu lagu keroncong khas Jawa #hazeeg.

Mobil yang kami sewa melaju dengan tenangnya. Nama drivernya saya lupa. Tipe driver yang pendiam dan jauh berbeda dengan driver radio compo tim rukuk gunung waktu di Lombok lalu. Sekitar dua stengah jam perjalanan menuju arah selatan melalui lokasi bencana geologi yang cukup menggemparkan di Indonesia "Lapindo Mudvolcano Tragedy ". Kota Malang kota lingkar gunung yang berada pada elevasi rata2 667 m.dpl. Menjadikan kota yang banyak memiliki bangunan arsitektur Belanda ini terasa adem ayem tentrem bagi para penghuni dan supporter fanatik Aremania dengan slogannya "Salam Satu Jiwa".

Sepanjang jalan saya mencoba menghubungi seorang kawan di Malang. Untuk membantu kami dalam pendakian, sebagai guide sekaligus porter. Yappp sekali porter tetap porter. Jasa kuli panggul yang sangat diperlukan tim kami yang super sadar akan kondisi fisik jompo dan mental tempe mendoan nya. Sesampai di Malang kami menjemput 2 porter yang ternyata salah satunya perempuan. Wanita super dengan perawakan khas laki gunung dengan topi tentaranya. Hahaha agak takjub juga kami semua saat pertama tau bahwa porter kami wanita. sementara Bung Idep dengan gemulainya berkata "Saya sih tidak masalah... Cusss". 

Selepas membeli logistik yang cukup berangkatlah kami berlima menuju Desa Bremi. Kaki Gunung Argopuro yang berlokasi di kabupaten Probolinggo. Apesnya sang driver tidak tahu jalan dan guide porter mulai keluar tabiat aslinya. Bukannya bantu arahin jalan malah enak tidur dikursi belakang ckck (sabar sabar). 

Setelah nyasar beberapa kali dan nanya ke orang2 pinggir jalan akhirnya kami sampai di Desa Bremi. Cukup terpencil karna akses jalan dan transportasinya yang ada sangat terbatas. Kami menuju pos polisi kecil yang sekaligus pos pendakian disana. Untuk mengurangi bobot tubuh serta bagian dari managemen pencernaan kami pun melakukan ritual proses bongkar muat isi perut di kantor tersebut. All set dalam setengah jam kami sudah mulai berjalan beriringan menuju Gunung Argopuro dan camping ground target kami malam pertama adalah Danau Taman Hidup. 
Porter, sialan! :D

Ketahuilah tim kami adalah satu-satunya gerombolan pendaki sarap nekad yang mendaki gunung Argopuro saat itu di bulan April yang tidak jelas cuacanya. Dari kejauhan awan tebal mulai merangkak naik di sekitar jalur pendakian. Berita baiknya sepanjang jalur perkebunan palawija cuaca masih adem2 terik matahari hampir tidak kami rasakan. Namun berita buruknya kemungkinan hujan yang mendera nanti beberapa jam berikutnya. Setelah jalur perkebunan kami mulai memasuki areal hutan produksi.

Break pertama

Pohon karet dan pohon besar bercabang merah memonopoli pemandangan. Ada beberapa kali jalan memisah yang sulit dibedakan mana untuk pendakian mana untuk jalan orang kebun. Guide dan porter kami pun tidak bisa diandalkan... shiittt beberapa kali sy harus lepas keril lari maju dan lari mundur lagi, mencoba coba jalan sndiri dan bertanya kepada orang kebun untuk memastikan jalur pendakian kita benar. 
Red wood forest

Kami menamainya Redwood. Jalur hutan dan pohon karet yang batang besarnya memerah berbaris rapih seakan membentuk barikade buat para pendaki yang menuju Argopuro. ditengah hutan ada satu satunya bangunan dari kayu sepertinya rumah orang kebun atau para pemburu. Kami meringsek masuk dan duduk sekedar melepaskan ceril2 besar yang mengikat bahu sepanjang perjalanan. "Rokok sebatang dua batang dulu lah ya" ujar Om Ukih sambil cengengesan. Kemeja flanel nya sudah basah oleh keringat sepanjang jalur 1 jam pertama. Sebenarnya walau menyebalkan tapi agak salut juga dengan para porter kita ini. Fisiknya lumayan tangguh. Yang laki badannya kurus yang wanita pendek, bahkan sama cerilnya pun lebih tinggi ceril. Haduhhh jadi gak enak kami yang laki2 banget ini dibantu porter wanita. "Sudahlah kita kan bayar mereka" kata para tetua menenangkan :D.
Lakik banget berdiri tegak!


Merangkak banget 

Sekitar 5 menit rehat kami mulai bergerak lagi. Kali ini sy inisiatif didepan karna jalur sudah mulai menyatu. Walau makin sempit namun arahnya jelas ke puncak Argopuro. Lebih cepat kami bergegas walau jalur tanah liat yang agak licin mempersulit kaki kaki tua kami. Dari jauh sy liat "sepatu hiking Air Jordan" milik Bung Idep mulai mangap sol nya #meehhh. 


Air Jordan 50% 

Tiga empat titik pohon tumbang kami lewati. Ceril yang tinggi mempersulit melewatinya. Ranting ranting semrawut yang dapat menusuk mata dan batang kayu licin kita injak, beberapa kali nyaris terjatuh. Hujan mulai rintik rintik hingga makin besar dan ditambah angin kencang. Mimpi buruk pun mulai mengawang diotak. Jas hujan mulai kami keluarkan. Mendaki dalam keadaan pakaian, jaket dan sepatu basah benar2 menguras tenaga. Hujan yang turun dengan deras seperti jarum2 yang menusuk muka melas kami berlima, membuat nyali dan semangat kita agak ciut saat itu. Akhirnya kami stop berjalan dan duduk kehujanan dalam jas hujan dan ponco masing2 menunggu hujan reda.

Hari sudah mulai sore. perut belum terisi dan kondisi basah membuat kami malas berhenti untuk memasak dalam perjalanan. Hujan masih belum reda kami memutuskan jalan terus dan menuju camping ground. 1 jam 2 jam... dan akhirnya kami merasa sudah dekat dengan lokasi target, karna jalur relatif menurun dan kemungkinan menuju danau. Nyawa sepatu "Air Jordan" Bung Idep pun sepertinya sisa 10%. 
View from Camping Ground 

Dengan terseok seok kami semua sampai di camping ground Danau Taman Hidup. Danau sepi yang terletak ditengah hutan. Sendirian kami disana. Kesan tempat ini lembab, basah, gelap dan spooky. Agak sulit mencari tempat kering untuk menanam tenda. Berkeliling kami melihat sekitar hingga akhirnya dapat posisi strategis diantara pohon2 dan batang pohon besar jatuh sebagai penahan angin dan tempat jemuran. Dengan sigap kami dirikan tenda lafuma summertime sewaan itu. Aneh padahal Bung idep bawa tenda juga dari Jakarta hahaa. Curiga kami kena sirep jadi gampang dikerjain sama guide kampret ini :#. 


The mist on top of the lake

Sudah mulai gelap. Tenda berdiri dan satu persatu berganti pakaian kering menghindari hypothermia. Sulitnya ada rekan tim wanita jadi gak bisa ganti pakaian bersama dalam tenda seenaknya. Walau perkasa tetap saja wanita. Apalagi dengan cueknya si porter wanita pinjam handuk kecil saya, buat mengeringkan rambut katanya :( #shitt. Angin semilir menggerutu disenja yang basah itu dan gerimis masih semangat menyiram tenda sedikit demi sedikit. Saya coba berjalan ke arah danau.  Tidak ada sunset karna tertutup awan dan kabut gelap. Di kejauhan nampak 2 orang pemancing jauh di pinggir danau arah berlawanan. Lalu saya berpikir lagi, hmmm.. agak tidak yakin ada orang selain kami di tempat sepi itu. Selain bayangan org tadi yang sudah menghilang, yang terlihat hanya rumput basah, lumpur dan "pacet". Shiittt mungkin syaithoonn.. dan pastinya.. pacet. *kabur ke tenda*.
Pemuda Harapan Bangsa

Gelap sudah menguasai dan dingin makin menusuk tulang. Porter pria bergegas malas pergi ke tepi danau mengambil air untuk masak makan malam kami. Tenda yang pas pasan untuk kami berlima makin sempit dengan sleeping bag dan jaket goretex tebal kami. Hampir 50% barang bawaan basah karna hujan sepanjang jalur pendakian tadi. Beruntung pacet gak terlalu banyak saat itu. Portable stove dinyalakan dengan bahan bakar tabung gas kecil beli di indonmaret dekat rumah porter. Kami masak mirebus biar cepat dan bisa istirahat tidur lebih lama untuk melanjutkan pendakian besoknya. Setelah kenyang, ngopi dan rokok 2-3 batang sambil ngobrol2 tentang apesnya kami hari ini serta tidak lupa melaknati Air Jordan jebol milik Bung Idep yang sudah habis masa berlakunya. Waktu menunjukan pukul 9 dan gerimis mulai turun lagi. Kami sudah gak peduli dengan pakaian dan sepatu basah tadi. Semua masuk tenda, merebahkan badan dan mengambil posisi nyaman masing2. 

Sial, lagi lagi sial.. sang porter wanita perkasa ternyata tidak bawa sleeping bag, terpaksa Om Ukih meminjamkan sarung keramatnya #hiiyyyy. Agak sulit tidur malam hari itu. Mungkin bisa dibilang agak mengecewakan pendakian kami kali ini. Hujan menghancurkan segalanya. Selain itu sy merasa jalur yang kami pilih kurang tepat. mestinya jalur Baderan saja mungkin akan lebih bagus kondisinya. Ahh sudahlah akhirnya kami putuskan beristirahat. Dan jangkrik yang mendekam di rumput2 basah Danau Taman Hidup turut andil dalam mengisi soundtrack nina bobo kami di malam dingin itu.



Esoknya agak siang kami terbangun karna dingin yang menusuk semalaman membuat sulit tidur nyenyak. Sleeping bag merk Berghauss saya bekerja tidak sesuai dengan kenampakan di cover nya  bullshitt (comfort 0 deg C). Seperti biasa Bung Idep bangun lebih dulu dengan jaket adidas retro Mexiconya. 



Classic Mexico Boy



Saya menyusul lekas ke tepi danau buat turut hunting sunrise yang sudah mulai merayap diatap pohon- pohon rindang. Pagi itu permukaan jalan rumput menuju "Park Life" masih agak tergenang oleh banjir semata kaki karna hujan semalam, rumput hijau basah, becek tanah dengan harum lumpurnya. Saya masih ingat begitu dingin dan beratnya kaki sy melangkahkan kaki menuju Danau pagi itu beralaskan sendal jepit swallow biru. NEX-5 Mirror-less kamera sy keluarkan dan mulai beraksi. Paling gak adalah beberapa foto yang bisa saya jadikan kenangan dan bukti bahwa kami pernah kemari. Kabut pagi tipis seakan berlari diatas permukaan air Danau Taman Hidup. Ilalang setengah meter yang hijau terang di sekeliling danau turut menambah kesan betapa menariknya tempat itu jadi object foto alam jika disabangi saat cuaca cerah. #sigghh



Danau Taman Hidup, Argopuro, Bremi


Selang stengah jam giliran Om Ukih yang mnyusul ke tepi Danau Taman Hidup.  sepertinya nyenyak sekali ia tidur semalam. efek satu sarung berdua dengan sang wanita perkasa #ciyee. Dan setelah merekam beberapa gambar matahari pagi kami berdiskusi lagi di tepi danau untuk planning pendakian di 2 hari tersisa. 


Path boy Slim


Sayang sekali cuaca di kediaman dewi rengganis masih tetap buruk hari itu. Pakaian dan perlengkapan masih basah sisa hujan sepanjang jalur kemarin, serta dikarenakan solideritas kami yang tinggi terhadap kawan yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karna alas kaki dan mentalnya somplakk. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ke Puncak Rengganis, yang artinya tidak bisa bersantai santai lihat kijang di lapangan rumput Cisentor dan bye bye ngasih empan burung merak di padang rumput jalur Baderan. #hiks  


Tumben rajin 


Sudah agak siang, Porter pria yang egois akhirnya bangun keluar tenda dan ambil air buat masak pagi kami. Tidak lupa dengan cueknya dia minta difoto pakai kamera kami dan dengan pedenya bilang "kirim hasilnya via email ya bang". Bang bang. bang bang tuttt!! #sabarsabar









Tak lama kita kembali ke tenda. Saat kedua porter itu masak kami mulai packing kembali. tas ceril masih agak lembab, Sinar mentari pagi masih ragu2 untuk tampil sehingga tidak cukup memanaskan tenda dan jemuran kami. 


Pakaian kemarin, sepatu dan kaos kaki masih basah total sementara handuk dan sarung pun masih lepek karna dipakek semalaman dan buat mengeringkan rambut oleh porter wanita perkasa. ckckc. 




Sarapan pagi sudah siap juragan. Mie rebus abon sapi dan teh manis hangat. Kopi susu torabika lumayan mengisi pagi, menghangatkan perut dan membuat senyum kami bertiga agak lebih ceria. Satu jam kami selesai sarapan pagi, merapikan tenda dan packing isi ceril dengan sempurna. Siap untuk melanjutkan perjalanan kembali. Tak lupa foto- foto team sebelum turun lengkap dengan perabotan masing- masing. Kantong sampah tidak lupa digandul oleh Bung Idep sebagai baret oren. Perwakilan suku dinas kebersihan pemkot jakarta yang selalu mengingatkan kita akan "Tiga Hal Utama dalam Sebuah Perjalanan Pendakian
" Leave nothing but footprint, Take nothing but photo and Kill nothing but time". #hazeeg




Rain tropical forest
All set dan kami pun siap meluncur turun. Tak lupa Bung Idep meminjam sendal jepit sang porter dikarenakan sepatu butut nya jebol dalam pendakian sesuai perkiraan. Yah daripada nyeker. Apa boleh buat. Duh ngisin ngisini persatuan employee cepron warga gunung kidul :D 

Hari masih agak teduh saat kami meringsek turun kembali menuju basecamp Bremi. Yang kami ingat adalah pohon- pohon tumbang dengan ranting- ranting yang berserakan menutup jalur pendakian, batang pohon besar dengan atap seperti payung tempat kami berteduh saat hujan lebat kemarin, jalur hutan Redwood bercabang merah besar dan bening nya sungai mata air warga Bremi yang dekat dengan ladang penduduk, sangat segar dan dinginnya saat membasuh muka kami menghilangkan lelah dan peluh seketika. #nyessshhh

Om Ukih dengan udut jisamsu basah sisa hujan kemarin seperti biasa jalan berjarak di belakang, sedangkan saya mengatur waktu menemani porter pria didepan berjalan agak cepat mengingat ingat jalur pendakian. Sial.. Beberapa kali bagian lengan kaos the north face sy tersangkut ranting pohon hingga sobek lumayan. Bung idep dengan mental sendal jepitnya masih megap megap saat bertemu tanjakan. Maklum mesin tua. hahaha Begitu variatif tim pendakian kita namun selalu kompak saat istirahat dengan pose rukuk nya. namanya juga #rukukgunung :D.

Sekitar 4 jam kami berjalan cepat sambil menahan bokauw. Akhirnya sampai di Pos Pendakian Bremi. Waktu menunjukan pukul 1 siang. Sedangkan angkutan desa yang tersedia hanya ada sore hari. Ceril Vaude Spider 40liter saya jebol karna kena ranting tajam saat menunduk melewati pohon besar yang jatuh ditengah jalur. 


Warteg --- Foodgasm

Benar2 pendakian yang mengenaskan. Om Ukih punya ide cemerlang menghabiskan 2 hari terakhir mengunjungi Pasir Berbisik Bromo. Segera kami bergegas bersemangat. 

Mandi lalu makan siang bersama di warteg dekat posko pendakian.  Nasi samble, Tempe mendoan panas dan endog asin ceplok. What a life!! 






Tepat pukul 3 sore angkutan desa satu-satunya telah datang dan siap meluncur ke terminal bus terdekat. 

Menuju senja kami naik bus ke kota Malang. Sampai di basecamp Bromo kami bersantai lalu jalan kaki cari tempat nongkrong "Warung Inggil".


#rukukgunung society
Pada akhirnya.. Benar kata orang bijak. "Setiap perjalanan memiliki cerita tersendiri yang khas. Hidup hanya sekali. Maka sepatutnya berarti"

Dan berikut penggalan foto-foto kami saat mengunjungi Gunung Sejuta Umat alias Bromo :D. Enjoy!!!





Pecinta kuda!!




Nyari belalang
Nyari kupu2











"There was a time some time ago
When every sunrise meant a sunny day, oh a sunny day
But now when the morning light shines in
It only disturbs the dreamland where I lay, oh where I lay
I used to thank the lord when I'd wake
For life and love and the golden sky above me
But now I pray the stars will go on shinin'
You see in my dreams you love me

Daybreak is a joyful time
Just listen to the songbird harmonies, oh the harmonies
But, I wish the dawn would never come
I wish there was silence in the trees, oh the trees
If only I could stay asleep
At least I could pretend you're thinkin' of me
'Cause nighttime is the one time I am happy
You see in my dreams

We climb and climb and at the top we fly
Let the world go on below us
We are lost in time
And I don't know really what it means
All I know is that you love me
In my dreams

I keep hopin' one day I'll awaken
And somehow she'll be lying by my side
And as I wonder if the dawn is really breakin'
She touches me and suddenly I'm alive"


Reo Speedwagon.


Budi Abit, April 2015.




Thursday, June 19, 2014

RINJANI, 2012 -- "TAPAK AWAL RUKUK GUNUNG" by. Idep Mehan & Budi Abit

Terakhir tahun 2000 saya menginjakan kaki di tanah Bumi Gora. Ketika itu backpacking sambung menyambung bis mulai dari Jogja - Banyuwangi - Bali - Padang Bai - Lembar - Mataram dengan modal 500 ribu untuk seminggu penuh. Sekarang sih kondisinya sudah sedikit berbeda: duit insyaAllah ada tapi waktu lowong itu yang luar biasa susahnya (dengan kata lain: visa dari keluarga). Tapi hasil dari kicauan iseng-iseng di twitter menakdirkan kami untuk kembali: Bandara Internasional Lombok. Rabu pagi 20 Juni. Kembali demi untuk mendaki gunung Rinjani, 3.726 mdpl.


Kami dijemput oleh pak Anwar. Sejenis driver setengah radio FM. Radio karena cerita pak Anwar banyak sekali tak habis-habis. Mulai dari curhat, cerita mesum sampai joke-joke klasik kering. Tapi selera mastengnya itu yang membuat tidak biasa. Bagi pak Anwar hidup itu harus berprinsip BMW: Bodi Mengalahkan Wajah. Karena itulah cap masteng pantas kami sematkan. Ya BMW itu tadi: sing penting bodi rupo keri. Kicauan pak Anwar menemani perjalanan sepanjang Praya - Sembalun Lawang. Tak lupa album The Best of Ebit G. Ade volume 2 sebagai lagu latar belakang. Agak salah sih, We Are Golden nya Mika mungkin lebih pantas untuk memompa semangat tua mendaki kami. Bukannya malah satu album penuh dari bapak galau nasional Republik Indonesia yang sebenarnya jauh melintasi jamannya (kosakata galau umum dipakai bahan kelakar komunitas shoegaze di Indonesia sekitar tahun 2000 ketika the Milo merilis Romantic Purple sebelum akhirnya direbut paksa menjadi istilah gaul ABG lalu sukses menjadi penanda status alay. Sedang tuan Ebit G. Ade belasan tahun jauh sebelum itu. Pionir).

Perjalanan darat menuju Sembalun Lawang ini merupakan kenikmatan tersendiri. Melihat kehidupan lain, kebiasaan lain, suasana lain suatu daerah. Lombok dengan alam datarnya, sehingga Rinjani terlihat dari mana saja. Jalan kelas kabupaten di Lombok relatif lebih kecil dan bisa jadi sekelas jalan  kecamatan di Jawa. Tapi trafficnya wow deh. Kalau menurut anda jalanan Jakarta itu sudah menantang, anda harus merasakan menyetir mobil di Lombok. Gaya bermotor disini hanya akan membuat skills sopir Mayasari Bakti dan Metromini di Jakarta sekelas Olga Syahputra belajar sepeda. Kita harus ekstra super hati-hati banget sekali. Di Praya kami menyempatkan mengisi perut dulu, maklum selepas subuh dari Jakarta tadi kita sudah langsung berangkat ke bandara. Jadi tidak sempat sarapan dan sarapan di bandara itu sudahlah gak enak mahal pula. Rugi. Saya orang Padang. Entah benar-benar enak atau memang kami saja yang sedang lapar tapi serius Plecing ayam Praya jauh lebih enak daripada ayam Taliwang di Mataram. Kami makan dengan formasi portugal, porsi tukang gali kata pak Anwar terkekeh dengan kulit cabe masih tersisa di sudut giginya. Masih pak Anwar dengan singkatan-singkatan absurdnya.

The most beautiful village -- ever seen

Kira-kira lepas Ashar akhirnya sampai juga di Sembalun Lawang, dusun kecil di kaki sisi timur Rinjani. Rasanya keterpencilan nya menjadi impas karena alam dusun ini yang sudah seperti negeri Gondor, Mordor dan Rohan di Middle Earth. Gandalf mungkin minat untuk pindah kesini. Dikelilingi bukit-bukit berlekuk dengan urat punggung yang kekar. Setiap pagi dan sore disiram penuh sinar matahari dari sisi yang berbeda. Karena terpencil itu mungkin fasilitas turis-treking nya jadi kurang terawat (dibandingkan Senaru, jauh). Rencananya kami menginap semalam di Maria Guest House milik pak Diralam. Dengan tarif IDR 250,000 per malam sebenarnya cukup mahal untuk sebuah wisma sederhana dan sepiring nasi goreng hambar-dingin. Tapi tak apalah, ya yang begini ini manfaat wisata dengan fasilitas lokal. Efek dominonya untuk warga lokal. Bukan Agung Podomoro grup, bukan Bakrie Land, bukan Ciputra, bukan pula korporasi tambun lainnya. Adalah tugas Menbudpar untuk mengedukasi talen-talen lokal ini agar lebih sadar wisata. Karena tidak harus mewah, bersih saja cukup. Pada pendakian kali ini hampir semua perlengkapan, peralatan termasuk tenaganya (baca: porter) kami sewa. Selain praktis, ini adalah bentuk sadar diri kalau sekarang kami ini sudah berduit (baca: sudah berumur).  Jadi malam itu praktis kami hanya duduk-duduk saja, sementara 2 porter kami packing dan belanja. Besok harus jalan pagi-pagi betul, untuk menghindari panas menyengat di jalur bermedan sabana.

Tips disetiap traveling, kita haruslah orang pertama yang memerawani MCK publik. Mau traveling lokal atau interlokal. Mau di Barcelona, Rotterdam, Purwokerto, Cardiff, Aberdeen, Tumpang begitu juga di Sembalun kali ini. Harus bongkar muat karena beberapa hari kedepan hanya akan ada MCK kualitas go-green. Di atas rumput dan di bawah langit. Sukur-sukur gak digigit semut. Kurang afdhol dan mustajab lah. 
Twin brother Wonosari


Selesai melapor ke posko pendakian, membayar bea masuk yang hanya IDR 10,000. Segeralah kami naik ojek. Loh kok ojek?! Ya iyalah ojek, jangan kayak orang susah dong. Hidup di milenum Twitter dan Facebook begini moda transportasi ojek terbukti bermanfaat menghemat 5 kilometer pertama kami. That’s what ojeks are for nasihat eyang Dione Warwick.

This is Classy Hikers
Akhirnya rombongan ojek kami sampai di Jembatan titik awal pendakian. Setelah mengencangkan mur dan baut di kaki, juga berfoto-foto selagi muka masih bersih berseri. Meski salah memakai sepatu tapi tak mengapa karena memang tujuannya ya kalau di foto harus sedikit gaya dan trendi (kelak ketika turun gunung jalur Senaru baru tahu kalau sepatu yang ukuran pas itu perlu). Urusan gagal puncak belakangan. Medan pertama pendakian Rinjani dari jalur Sembalun ini adalah padang sabana dengan elevasi medium sampai pos 3. Biasanya muka, leher dan lengan akan gosong tanpa terasa karena suhu yang dingin. Beruntung kondisi cuaca agak mendung saat itu jadi tidak begitu merusak lip gloss, sun-block, foundation dan maskara kami: yuk daki yuk cyin.

Still fresh -- Baru turun ojeg
Sedari pamit lapor berangkat dari posko Sembalun memang hanya rombongan kami yang nampak. Ketika istirahat di posko 1 barulah para porter-porter lain menyalip kami. Mereka membawa 15 orang Malaysia katanya. Sekadar informasi, tongkrongan para porter ini cukup meruntuhkan kepercayaan diri pendaki.


Sementara kita heboh dengan perlengkapan ini itu, bapak-bapak itu cukup bersandal jepitan, kaus tipis, sarung dan pikulan. Pikulan abang-abang tahu gejrot ya bukan caril  Deuter, Jack Wolfskin, Gregory atapun Quechea.
Instaboy and Pemuda nasdem





Kita sudah pit-stop 5 kali, bapak-bapak itu cukup sekali. Sambil kretekan. Kita jalan duluan, mereka masih duduk-duduk eh masih bisa disalip juga. Ya sudahlah ya, mereka kan orang lokal, kita kan orang kota. Jangan dibanding-bandingin lah. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Apa sih.
Porter -- Pahlawan tanpa tanda jasa
Rinjani Outcrop 
Akhirnya di pos 3, jadwal kami untuk rehat lebih lama untuk sekalian makan siang. Sebenarnya hanya Indomie rasa Ayam Bawang sih (bukan notes berbayar, akun tidak ada hubungan bisnis apapun  dengan Indofood) tapi serasa sedang makani Carbonara nya Basilico (bukan notes berbayar juga, lah wong penulis belum pernah makan di Basilico sebatas baca menu di pintu masuk.ini biar keren dan terkesan gawul saja). Di pos 3 inilah baru kami bertemu ramai dengan rombongan lain, herannya hampir semuanya ekspatriat. Ada pasangan dari Jerman, rombongan dari Perancis, Kanada dan rombongan besar Malaysia tadi. Mereka berencana untuk mendaki Rinjani, bermalam di Gili sebelum bermain rafting di Bali.


Senang rasanya mendengar rencana mereka. Jauh-jauh dari Malaysia si Truly Asia untuk ke Indonesia yang Asia Sebenar-benarnya. Akan ada banyak pak Diralam-pak Anwar lain yang mendapat rezeki lebih efek domino ekonomikal di setiap perjalanan turis. Amin.

Break your time or break your leg
Dari pos 3 ternyata kami harus menghadapi bukit penyesalan. Jalur mendaki yang memberikan ilusi sebuah bukit yang selalu muncul bukit baru setiap kali kita berhasil mendakinya. Bikin stres. Tak habis-habis. Memberikan tekanan psikis kelelahan. Untuk berbalik arah kembali pulang sudah jauh sedang untuk terus naik tidak jelas dimana ujungnya. Konon begitulah asal nama bukit penyesalan. Tapi kami masih beruntung karena cuaca saat itu malah jadi mendung dan gerimis. Seandainya cuaca sedang cerah panas pasti akan jauh lebih berat. Seorang teman keram jadi sedikit memperlambat laju pendakian (lumayan buat alasan istirahat berkedok menunggu dia memastikan selamat). Belum lagi hujan dan gerimis yang berganti-ganti jadi repot bersalin mantol berulang-ulang. Akhirnya setelah hampir 4 jam pendakian bukit penyesalan kami (lebih tepatnya tinggal saya berdua karena rekan yang lain melaju) sampai juga di puncak plawangan Sembalun.
Wellknown -- Enam Bukit Penyesalan

Bersama 4 orang Malaysia yang sama payahnya dengan kami, masalahnya iPod mereka memainkan musik rock-rock melayu sepanjang bukit penyesalan. Bisa jadi itu salah satu sebab tenaga kami terkuras habis. Saya merasa terus dibuntuti Nike Ardila, Inka Christy dan Iklim Band sepanjang perjalanan. Eh jangan pernah anggap enteng mendaki bukit penyesalan di Rinjani dengan diiringi musik rock melayu Malaysia. Sekali-sekali coba saja kalau berani.

Afternoon shower -- Plawangan Sembalun 03pm
Plawangan Sembalun sebenarnya adalah pos terakhir kami sebelum berburu summit attack. Karena sedang musim panas - dimana cuaca kering memang lebih nyaman untuk melakukan pendakian - jadilah area perkemahan penuh sekali.


Ada sekian belas blok kelompok. Dilihat-lihat hampir semuanya ekspat, hanya ada rombongan kami yang berempat plus tetangga tenda sebelah yang orang lokal.

Posisi tenda kami cukup nyaman, ada pohon-pohon dibelakang yang menjadi perisai angin. Sedangkan didepan adalah puncak Rinjani kukuh, kekar, dengan urat-uratnya yang seperti menyepelekan kami para om-om tua ini. Baiklah, kami memang harus istirahat lebih cepat karena nanti pagi-pagi buta harus bangun untuk mengejar sunrise. Lihat saja.





Summit Attack -- .
Malam itu kami bobo seranjang. Saya dan duo maho bersaudaro asal padang Tuan Idep dan Pemuda Nasdem. sementara Om Ukih terpaksa bergumul mesra dengan dua porter kami yang walau tua namun masih "kuat melayani" #halah. Jam 2 dinihari Dengan manisnya seorang bapak porter mngetuk pintu tenda satu persatu. dengan malasnya sy bangun, ngucek2 mata, dan sibuk nyari headlamp petzl hijau sisa jatah explorasi karna dalam tenda gelap sekali. 

"Pagi tuan muda.. mari bangun dan siap2 serangan fajar" kata porter tua menyemangati kami. "Baik Pak" *sambil lap iler*. 15 menit siap2 pakai celana dan jaket goretex hangat, wind breaker, kupluk dan head lamp. gak lupa tas kecil yang cukup berisi air dalam hydro pack, snack ringan, kamera dan HP buat check in foursquare + jadi instaboy. 
Sunrise hari itu -- Selalu dramatis
Tanpa guidance dr porter yang memilih istirahat daripada 50ribu tambahan dr kami sbagai biaya muncak, kami mulai menapaki tanah kering yang dingin mngikuti jalur para pendaki lain. nampak dr kejauhan iringan pendaki yang berheadlamp bagaikan barisan kunang2 yang berkedip2 bergerak menuju puncak Rinjani. 1jam, 2jam, 3jam perjalanan jalur pendakian makin terjal udara makin tipis dan kerongkongan jadi cepat haus. Dari ufuk timur terlihat matahari mulai mencoba mengintip kesusahpayahan kami menginjak pasir2 leher Rinjani. 
Sekitar 100m sbelum puncak, akhirnya kami pun memutuskan untuk stop mendaki dan mulai hunting sunrise. Ingat!! bukannya kami menyerah. namun kehabisan minum yang dialami Bro Iyan Pemuda Nasdem dan kenyataan bahwa kemarin dia kebanyakan "menelan" krim susu kambing di 6 Bukit Penyesalan memaksa kami berhenti berjuang (hahahaha *setel lagu mencari alasan -- band malay) tidak lupa kami ingat saat itu para porter sempat merekomendasikan kami untuk istirahat dan stay di kamp 2 bareng monyet gunung Rinjani hahahapeuk.
Barujari Volcano  dan Agung Mountain, Bali mengintip dari kejauhan -- View dr "puncak rinjani"
Empat Om2 Keren Rukuk Gunung Society
1 jam di leher Rinjani kami isi dengan potret sebanyak banyaknya. Gaya duduk, berdiri, jongkok, maho2  meteor garden sampai The Matrix nya Keanu Reeves menjadi andalan. ditambah skill photograph kompo Om Ukih membuat hasil poto kami ciamik untuk kenangan stelah pulang nanti.

Ahhhh. Indahnya pemandangan Gunung Muda Barujari ditengah2 Danau Segara Anak diujung sana Gunung Agung mengintip dengan manisnya di Pulau Sebrang.


Puas mengabadikan momen sunrise dan puluhan calon profile picture buat account Socmed. Kami bergegas turun ke camping ground kami hari pertama Plawangan Sembalun.

Latar tembok Mordor ala ala background film Lord Of The Ring menyapa sepanjang jalur turun. Kami turun degan cepat dan disambut wangi aroma sop ayam buatan bapak porter tercinta *tsaahhh kapan lagi makan sop ayam di gunung. Teh manis hangat nya pun sudah siiap tuan muda. :)

Kopi pagi -- Tuan muda menunggu sarapan

Selepas sarapan sop ayam khas plawangan sembalun itu, kami pun tidur2 santai sambil ngerokok ngopi depan tenda. diiringi lagu "Slank -- Tepi Campuhan" (Kebayang ajibnya). sekitar pukul 9 kami packing kembali barang bawaan kami dan beringsut menuju lokasi camp berikutnya "Tepi danau Segara Anakan" (enak sekali para porter yang beres2 tenda, matras, kompor dan panci kotornya haisshh).
Walau berjalan 1-2 jam lebih dulu, tetap saja para porter tua itu membalap kami dengan ceker mautnya. Jalur menurun yang hampir 90 derajat kemiringannya mreka tapaki tanpa masalah, padahal beban pikulan dipundak terlihat jauh dari keadaan stabil. Tapi ya tetap saja kalau diistilah sepakbola "Mereka lah yang punya kandang".
Enaknya pakai porter --
yang malas ga perlu gendong tas :D
Run for your life
Tembok besar dengan urat urang batuan intrusi terlihat memukau disisi barat dataran tinggi Rinjani. Menjadi santapan mata sepanjang jalur menurun ke kawasan camping ground Segara. Banyak yang mnyebut petilasan Dewi Anjani ini adalah danau tempat dia mandi setiap berkunjung ke bumi. Yahh sekedar folklore yang kadang membuat kita merasa tertarik dan penasaran untuk mengetahui cerita rakyat sebenarnya. Kekayaan Indonesia gak sekedar alam namun cerita rakyat dan hikayat juga termasuk didalamnya. Kata pak guru jaman sekolah rakyat dulu.
Danau Segara -- posisi bersih
Cocoklah Rinjani dinyatakan sebagai gunungnya para bule. karna sepanjang jalur kami bertemu dengan rombongan rombongan expatriate berambut pirang yang menggunakan jalur berlawanan. Mereka mulai dari Senaru dan berakhir di Sembalun.
Segara surga -- Dari kejauhan
Crater Segara -- dengan dinding bendungan alaminya
Tak terasa, Sekitar pukul 3 sore kami tiba di sisi danau Segara. kami pilih lokasi camping yang kering, aman dan mulai mendirikan tenda.
Reflection -- Lake Segara
Gagah nya Gunung Barujari yang berefleksi dengan permukaan danau membuat pemandangan sore itu begitu menakjubkan.


Sebenarnya sore itu bapak porter tua mengajak untuk melihat mata air panas yang dekat disana. Namun kelelahan dan bosen dengan tampilan thermal feature yang itu2 saja membuat kami dan terutama saya malas. Kami pun terlelap tidur siang sejenak mengatasi kelelahan di perjalanan.
Fishing -- Segara

Hari mulai gelap, dingin mulai menusuk dan bapak porter mulai memanasi panci dan memasak nasi.
Menu malam ini nasi telor dadar. dengan lincahnya dia memasak bagai seorang chef handal.

Kira kira 1jam memasak dan menu siap disajikan. Memang ndeso dan apes si Tuan Idep anak gunung asal wonosari, telor yang hanya satu2 nya terjatuh akibat kurang sigap dalam menerima umpan dari pak tua. Terpaksa makan telor dadar dengan taburan pasir volkanik Rinjani :( .
Starlight -- Segara

Dan malam itu cuaca cerah, Sapaan gugusan bintang galaksi bimasakti tepat diatas kepala kami cukup untuk menutup dengan indah malam terakhir kami di Gunung Rinjani. Sekedar iseng Om Ukih sang ahli kompo membuat tripod jadi2an dengan menggunakan ranting2 pohon dan karet gelang plus tali rapia seadanya. Cukup untuk menjaga potretan lebih stabil sehingga bisa menangkap cahaya dengan shutter speed sangat lambat. Momen pun terabadikan starligth segara :).

Our camp --  Orange Lafuma Campo Tent ;)
Pagi pagi sekali kami sudah bangun dan packing semua alat2 kami. rencananya kami ingin cepat2 turun gunung dan menikmati pantai di Santai Inn Sengigi. Hari masih gelap, mata masih lengket dan dingin masih menusuk tulang selangkangan. Namun dengan semangat kami yang berkobar akhirnya bangun juga. Jam5 kami sudah siap dengan caril dan day pack masing2. Tenda dan alat masak akan dibereskan Pak tua porter seperti biasa.

Kami mengatur tempo dan bergerak seduluan mungkin dari mereka karna tau tetap bakal dikejar :D. Jam 5 tepat kami mulai menapaki dinginnya tanah tepi danau Segara. Berjalan menuju arah timur jauh. kami harus mendaki ke Plawangan Senaru sebelum akhirnya turun hingga tiba di gerbang pendakian Senaru.

Masih gelap gulita kami mencoba mencari cari jalur yang benar dan diridhoi Allah. Karna tidak ada guide yang menemani. Seakan firasat buruk mulai terasa, ketika melintasi beberapa percabangan dan sungai kecil kita coba menelusurinya tapi ternyata "sarang tokai" hahaha. Untung tidak ada yang nginjak ranjau darat disana. Akhirnya kami balik arah dan mencoba jalur lainnya. Dari kejauhan senter kecil terlihat mulai mengejar kita, dan benar mereka adalah dua porter kita. Percuma buru buru, nyasar dan ujung ujungnya bareng mereka juga.

Menuju Plawangan Senaru
Satu jam perjalanan dengan perut yang dingin. Saya merasakan kontraksi otot usus besar. Dengan ijin kawan2 seperjuangan sekaligus mereka minta waktu untuk ngambil napas tambahan "rokok sebatang" saya mulai mencari spot yang bagus untuk betelor. Setelah lega proses bongkar muatan, perjalanan pun dilanjutkan dengan trek slope yang lebih menantang. Sekitar pukul 6 mentari mulai memperlihatkan kekuatannya. Sepanjang perjalanan mendaki terasa di punggung kami terhangatkan sinar paginya. Jalur melipir jurang ini cukup menyita tenaga. Mesti extra hati hati karna ada beberapa jalur bekas longsoran dan masih rawan longsor kembali. Dengar2 beberapa hari lalu ada pendaki yang jatuh disekitar jatuhan batuan ini. 

Rinjani -- Salah satu tujuan napaktilas ini
Classic spot photography
Sekitar 4 jam mendaki akhirnya kami sampai di Plawangan Senaru. Lokasi camping ground bagi pendaki yang menggunakan jalur masuk Desa Senaru. tidak kalah indah karna posisi yang sejajar antara Plawangan, Danau Segara dan Puncak Rinjani bisa dilihat dalam satu garis lurus. Mungkin ini adalah the best & classic spot yang biasa kita lihat majalah2 yang membahas keindahan Gunung Rinjani. "Dan dari sini nama anak saya berasal!!" :)


Spot to Plawangan Senaru

Mungkin hanya 1 jam kami meredakan tension di betis dan mengencangkan baut2 kaki. Sambil berpoto dengan kamera dan handphone seadanya karna kamera utama sudah habis masa tayangnya. Kami mulai merapikan barang bawaan dan meringsek turun menuju pos berikutnya. Tidak ada kejadian yang terlalu spesial karna disetiap momen turun gunung yang ada di kepala hanya cepat cepat sampai dibawah dan istirahat disana.




Waktu tempuh turun jauh lebih cepat dari saat mendaki. Karna tidak terlalu lelah, kami tidak banyak beristirahat di perjalanan tersebut. Hanya butuh sekitar 4 jam dari Plawangan untuk melewati beberapa pos dan akhirnya tiba di gerbang pos pendakian Desa Senaru.  Sembari menunggu rekan-rekan lain kami sempat meluruskan kaki, numpang charge HP dan ngobrol dengan para petugas pos pendakian Rinjani.


Tak berapa lama setelah semua berkumpul dan lengkap. Bapak sopir mobil yang kami sewa pun tiba dengan senyum sumringah. Dengan sigap seluruh alat-alat pendakian kami masukan dalam mobil Avanza dengan audio set spesial edition Ebiet G. Ade tersebut. Uang yang telah dikumpulkan bendahara pendakian sejak awal. Mulai kita sebar. Bayar porter 3 harian + tip, sewa tenda, sewa kompor dan alat masak. Kami pun pamit serta berterimakasih seberat beratnya pada para porter tua yang kami kagumi. Walau mereka sempat underestimate tim kami tapi akhirnya kami berhasil mnyelesaikan pendakian dengan sempourna. Sesuai motto tim Rukuk Gunung -- "Puncak hanyalah bonus.. Pulang dengan Selamat adalah tujuan utama".

Kami pun meninggalkan Desa Senaru dengan puas hati. mampir sebentar untuk sekedar makan siang di restoran khas Lombok yang menyajikan Ayam Taliwang. Dan akhirnya menikmati hari terakhir kami di Pulau Surgawi itu dengan menginap di Hotel Santai Inn, hotel kualitas backpacker bintang lima dengan harga kaki lima (kayak tagline De Cost) :D.

Sampai saat ini masih jelas dalam ingatan kami. Sore itu Laila Nurjanah gadis blasteran Londo Lombok sang pemilik hotel menyambut kedatangan kami dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya.

Lombok Juni Awal Musim Panas 2012.
Atas nama anggota Perkumpulan Rukuk Gunung iNDONESIA,

"Life is equal with the adventure within -- struggle with some friends, tears and laughters" 

On Behalf of Perkumpulan Rukuk Gunung;
Budi Abit --

(1 PR selesai --)